I.
Pendahuluan
Persoalan utama dalam berusahatani di lahan marginal adalah
keterbatasan seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang tidak baik,
sehingga menjadi faktor pembatas dalam berusahatani. Untuk meningkatkan
produktivitas lahan marginal ada beberapa cara yang perlu dilakukan seperti
pemakaian varietas tanaman unggul, penerapan pola tanam yang sesuai dengan
curah hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan
sehingga kelestarian lahan dapat dijaga.
Sebagai sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah
mempunyai dua fungsi, yaitu : (1) sebagai sumber penyedia unsur hara dan air,
dan (2) tempat akar berjangkar. Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun,
bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produkvitas tanah
menurun menjadi Tanah Marjinal. Dengan demikian, Tanah Marjinal untuk budidaya
tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi
yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman. Kalau tanah ini
diusahakan untuk budidaya tanaman memerlukan masukan teknologi, sehingga
menambah biaya produksi. Selain itu, tanah ini juga tidak mempunyai fungsi
ekologis yang baik terhadap lingkungan (Nursanti dan Rohim, 2007).
Tanah Marjinal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik
(ulah manusia). Secara alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses
pembentukan tanah terhambat atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk
pertumbuhan tanaman. Misalnya, bahan induk yang keras dan asam, kekurangan air,
suhu yang dingin/membeku, tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi tanah
yang dihasilkan didominasi oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman. Secara
antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang
tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi
dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau
senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta
kebakaran (Nursanti dan Rohim, 2007).
Tanah Marjinal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk
secara alami, bukan tanah yang menjadi marjinal karena antropogenik. Dari 12
ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols,
Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang
tergolong Tanah Marjinal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols,
Histosols, Inceptisols, dan Ultisols (Nursanti dan Rohim, 2007).
II.
Produktivitas Lahan dan Kemantapan Agregat Tanah
2.1.
Peningkatan Produktivitas Lahan
Berdasarkan potensi
sumberdaya lahan yang tersebar di
seluruh tanah air dan rakitan teknologi dari hasil-hasil penelitian, peluang
untuk meningkatkan produktivitas lahan kering baik melalui ekstensifikasi maupun peningkatan mutu intensifikasi cukup
besar. Namun demikian perlu disadari pula bahwa kendalanya juga cukup besar dan
beragam, baik fisik, biotik, sosial ekonomi, sarana dan prasarana serta
kelembagaan (Nursyamsi, 2004).
Makalah ini membahas berbagai upaya peningkatan
produktivitas lahan dari aspek perbaikan sifat fisik tanah yaitu kemantapan
agregat. Produktivitas tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan
produk tertentu suatu tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu.
Suatu tanah atau lahan dapat menghasilkan suatu produk tanaman yang baik dan
menguntungkan maka tanah dikatakan produktif. Produktivitas tanah merupakan
perwujudan darifaktor tanah dan non tanah yang mempengaruhi hasil tanaman.
Tanah produktif harus mempuyai kesuburan yang menguntungkan
bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti
produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelaola dengan tepat, menggunakan
jenis tanaman dan teknik pengelolaan yang sesuai. Kesuburan tanah adalah
kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah
yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat
dimanfaatkan tanaman dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman
tertentu dengan didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam
2008).
Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar
tehadap kualitas tanah. Kualitas tanah dapat sebagai sifat atau atribut
inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil
observasi tidak langsung, dan sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan
fungsi-fungsi produktivitas lingkungan dan kesehatan.
Winarso (2005) cit Nursyamsi (2004).menjelaskan bahwa
pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan
pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang,
karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan.
Pada umumnya proses degradasi tanah dalam sistem pertanian dapat disebabkan
oleh erosi, pemadatan, penurunan ketersediaan hara atau penurunan kesuburan,
kehilangan bahan organik tanah dan lain lain.
2.2.
Pengertian Agregat Tanah
Partikel-partikel primer di dalam tanah tergabung dalam
suatu kelompok yang dinamakan sebagai
agregat tanah, yang merupakan satuan dasar struktur tanah (Baver et al., 1972; Theng, 1987). Agregat terbentuk
diawali dengan suatu mekanisme yang menyatukan partikel-partikel primer
membentuk kelompok atau gugus (cluster) dan dilanjutkan dengan adanya sesuatu
yang dapat mengikat menjadi lebih kuat (sementasi). Pembentukan agregat tanah
melalui proses penjonjotan yang dilanjutkan dengan agregasi dengan atau tanpa
diikuti proses sementasi (Baver et al.,
1972; Notohadiprawiro, 1996). Di dalam suspensi, partikel-partikel primer yang
mempunyai potensial elektrokinetik (zeta) tinggi akan saling tolak menolak.
Ketika energi potensial turun, tumbukan antar partikel ini melemah sehingga
menghasilkan antar partikel primer saling berdekatan dan terbentuklah jonjot.
Jonjot ini akan tetap stabil sepanjang kehadiran agensia flokulasi.
Agregat tanah terbentuk karena proses flokulasi dan
fragmentasi. Flokulasi terjadi jika
partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian bergabung
membentuk agregat. Sedang-kan fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan
masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil. Kemper & Rosenau (1986) cit Santi et al
(2008) mengatakan bahwa makin stabil suatu agregat tanah, makin rendah
kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah).
Menurut Baver et
al. (1972) cit Santi et al (2008) flokulasi dapat juga terjadi sebagai hasil
dari atraksi elektrostatik antara ujung muatan positif lempung yang satu dengan
permukaan negatif lempung yang lain, sehingga terbentuk ukuran yang jauh lebih
besar, yang akhirnya mengendap sebagai hasil gaya gravitasi atau gaya beratnya
sendiri. Agregasi merupakan peristiwa
penggabungan jonjot-jonjot tanah menjadi agregat melalui gaya kohesi (tarik
menarik antar jonjot) dan gaya adesi (tegangan permukaan antara jonjot tanah
dengan molekul air). Selanjutnya agregasi ini dapat diikuti oleh proses
sementasi, yang merupakan peristiwa perekatan jonjot tanah atau agregat oleh
suatu bahan penyemen.
Baver et al. (1972)
cit Santi et al (2008) menyatakan bahwa pembentukan agregat yang mantap
memerlukan ikatan yang lebih kuat antar partikel atau jonjot sehingga tidak
mudah terdispersi kembali dalam air. Stabilitas agregat tanah tergantung dari
kekuatan pelaku penyemen dalam menghadapi gaya perusak yang berasal dari luar.
Agregasi yang tinggi belum tentu menguntungkan apabila tidak diikuti dengan
stabilitas agregat yang cukup. Agregat yang mantap ialah agregat yang tidak
terurai oleh air maupun gaya-gaya perusak mekanik. Pembentukan agregat yang
mantap melibatkan berbagai bahan sementasi baik koloid organik maupun koloid
anorganik Agregat yang mantap tidak dapat terjadi pada fraksi pasir atau debu
tanpa adanya bahan-bahan koloidal (Baver et al., 1972 cit Santi et al 2008).
2.3. Kemantapan
Agregat
Kemantapan agregat merupakan kemampuan agregat tanah untuk
bertahan terhadap pengaruh tetesan air hujan atau pembenaman dalam air.
Pengukuran kemantapan agregat dapat dilakukan dengan metode pengayakan basah
dan pengayakan kering (kuantitatif) atau dengan metode pembenaman dalam air dan
alkohol (kualitatif) (Septiawan, 1987).
Kemantapan agregat sangat penting bagi tanah pertanian dan
perkebunan. Agregat yang stabil akan
menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Agregat dapat menciptakan
lingkungan fisik yang baik untuk perkembangan akar tanaman melalui pengaruhnya
terhadap porositas, aerasi dan daya menahan air. Pada tanah yang agregatnya, kurang stabil
bila terkena gangguan maka agregat tanah tersebut akan mudah hancur. Butir-butir halus hasil hancuran akan
menghambat pori-pori tanah sehingga bobot isi tanah meningkat, aerasi
buruk dan permeabilitas menjadi lambat (Septiawan, 1987).
Kemantapan agregat juga sangat menentukan tingkat kepekaan
tanah terhadap erosi. Kemampuan agregat untuk bertahan dari gaya perusak dari
luar (stabilitas) dapat ditentukan secara kuantitatif melalui Aggregate
Stability Index (ASI). Indeks ini merupakan penilaian secara kuantitatif
terhadap kemantapan agregat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemantapan agregat antara lain
pengolahan tanah, aktivitas mikroorganisme tanah, dan penutupan tajuk tanaman
pada permukaan tanah yang dapat menghindari splash erotion akibat curah hujan
tinggi.
Kemantapan agregat
merupakan sifat fisik tanah yang memanifestasikan ketahanan
agregat tanah terhadap pengaruh disintegrasi
oleh air dan
manipulasi mekanik (Jury et
al., 1991) cit (Septiawan, 1987).
Oleh karena itu
pengukuran aggregat yang berkaitan
dengan pengaruh dispersif
air sangat relevan
untuk dilakukan. Pengukuran kemantapan bisa
dibatasi pada hanya
agregat makro, agregat
mikro, bahan yang
dapat didispersikan, atau
dapat meliputi rentang ukuran
aggregate yang luas.
Hasil pengukuran akan sangat
ditentukan oleh kelas
ukuran agregat dan kadar
air awal dari
agregat yang digunakan, serta kondisi
bagaimana pembasahan itu
terjadi (Kay dan Angers, 2000) cit
(Septiawan, 1987). Kemantapan agregat
dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya jenis dan
kadar Iiat, bahan organik. serta jenis dan jumlah kation
terjerap.
2.4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kemantapan agregat
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemantapan agregat antara
lain bahan organic, pengolahan tanah, aktivitas mikroorganisme tanah dan
penutupan tajuk tanaman pada permukaan tanah yang dapat menghindari splash
erotion akibat curah hujan tinggi. Kemper & Rosenau (1986) cit (Septiawan,
1987). mengatakan bahwa makin stabil suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya
terhadap erosi (erodibilitas tanah).
a.
Bahan organik
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk
agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah
untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah. Pengaruh
pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur
tanah yang diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan
struktur gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat
struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah (Juarsah et al,
2001).
Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam
hal ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek
lempung-logam-humus (Stevenson, 1982) cit Juarsah et al (2001).. Pada tanah
pasiran bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur dan ukuran
agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau kasar
(Scholes et al., 1994 cit Juarsah et al
2001). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang semula tidak berstruktur
(pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur
yang sedang hingga kuat.
Dalam hubungannya dengan sifat fisika tanah, bahan organik
berupa pupuk kandang dan kompos dapat berperan dalam pembentukan agregat yang
mantap (Sutono et al., 1996 cit Juarsah
et al 2001), karena dapat mengikat butiran primer menjadi butiran sekunder. Hal
ini terjadi karena pemberian bahan organik menyebabkan adanya gum polisakarida
yang dihasilkan bakteri tanah dan adanya pertumbuhanhifa serta fungi dari
aktinomisetes di sekitar partikel tanah (Rawls, 1982) cit Juarsah et al
(2001).. Perbaikan kemantapan agregat tanah meningkatkan porositas tanah, dan
mempermudah penyerapan air ke dalam tanah, sehingga meningkatkan daya simpan
air tanah. Menurut Kohnke (1979) cit Juarsah et al (2001)., peran bahan organik
terhadap sifat fisik dan kimia tanah antara lain meningkatkan agregasi,
melindungi agregat dari perusakan oleh air, membuat tanah lebih mudah diolah,
meningkatkan porositas dan aerasi, meningkatkan kapasitas infiltrasi, dan
perkolasi serta C-organik, N- total, P dan K ( Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh mulsa dan pupuk kandang terhadap sifat
fisik dan kimia
tanah Ultisol
Jasinga, Jawa Barat
Rehabilitasi tanah
BD
Pori Aerasi
Stabilitas Agregat
…g/cc….
….% vol….
Tanpa rehabilitasi
0,91
17
47
Mulsa jerami padi+sisa tanaman
0,87
22
56
Mulsa Mucuna, sp
0,88
21
50
Pupuk kandang
0,89
21
48
Sumber : Undang Kurnia (1996) cit I. Juarsah et al (2001)
Ardinal et al (2009), menyebutkan bahwa pengaruh berbagai
pemberian jenis mulsa dari bahan organik dan interaksinya dengan jenis
pengolahan tanah yang dilakukan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persen
agregasi tanah Pssament. Pemberian bahan organik kepada tanah berpasir
(Psamment) secara bertahap ternyata mampu meningkatkan proses agregasi yang
memang sangat lambat terjadi pada tanah berpasir karena tidak adanya bahan
perekat dan juga tidak mempunyai liat aktif yang sangat diperlukan sebagai agen
pengagregasi tanah.
Tabel 2. Pengaruh pengolahan
tanah dan mulsa organik terhadap persen agregasi
tanah Psamment
Mulsa
Pengolahan Tanah
Tanpa (Nt)
Minimum (Mt)
Konvensional (Ct)
Agregasi (%) …
Tanpa (Z)
45.4 ab A
48.4 ab AB
45.4 ab A
Thitonia (T)
34.6 b B
44.8 ab B
49.7 ab AB
Krinyuh (K)
45.1 ab A
43.0 b B
43.4 b A
Jerami Padi (P)
47.3 a A
55.9 a A
54.1 a A
Jerami Jagung(J)
44.1 a A
47.5 a AB
49.3 a AB
KK = 15.56%
Angka-angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada
setiap kolom dan huruf kecil yang sama pada setiap baris berbeda tidak nyata menurut BNT (0.05)
Meningkatnya agregasi tanah berhubungan dengan meningkatnya
kandungan bahan organik tanah dari tanah yang diperlakukan. Meningkatnya kandungan bahan organik akan
menghasilkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai perekat dalam pembentukan
agregat tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah juga dapat membentuk
struktur tanah yang baik, agregat tanah yang lebih mantap dan tanah lebih tahan
terhadap pengaruh dari luar.
b.
Mikroorganisme
Agensia organik yang dapat meningkatkan kemantapan agregat
tanah ialah produk dekomposisi biomas, eksopolisakarida (EPS) asal bakteri,
miselium fungi, dan produk hasil sintesis tanaman. Azotobacter vinelandii, P. aeruginosa, P. fluorescens, dan P. putida menghasilkan beberapa jenis
polisakarida penting. Polisakarida tersebut antara lain polisakarida
ekstraselular, kapsular, dan lipopolisakarida (Kim et al., 1996; Sutherland,
1997) cit (Santi et al, 2008). Pembentukan agregat tanah umumnya dipengaruhi
EPS yang merupakan hasil dari aktivitas mikroorganisme.
Pada penelitian Santi et al (2008) yang menggunakan bakteri
penghasil eksopolisakarida, perlakuan dengan inokulan tunggal maupun campuran
ke dalam tanah beragregasi sangat tidak stabil mengindikasikan adanya
peningkatan kemantapan agregat dalam 30 hari inkubasi (Tabel 2). Mikroorganisme
tanah dapat menghasilkan polisakarida, hemiselulosa, uronida, dan sejumlah
polimer alami lainnya yang dapat menempel pada permukaan partikel tanah melalui
jembatan kation, ikatan hidrogen, van der Waals, dan mekanisme adsorpsi anion.
Kemantapan agregat mikro tergantung pada keberadaan bahan organik pengikat,
sedangkan kemantapan agregat makro dapat terbentuk karena aktivitas perakaran
tanaman dan miselium fungi. Mikroorganisme dapat memetabolisme bahan organik
tanah untuk menghasilkan eksopolisakarida yang kemudian digunakan sebagai
agensia pengikat partikel agregat mikro. Perlakuan inokulasi Flavobacterium sp. PG7II.2, meningkatkan ASI
dari 31,95 (sangat tidak stabil) menjadi 41,34 (tidak stabil). Indeks
stabilitas agregat meningkat sejalan dengan lama waktu inkubasi sampai 60 hari.
Tabel 2. Index
Stabilitas Agregat
Perlakuan
ASI (Index Stabilitas Agregat)
30 hari inkubasi
60 hari inkubasi
90 hari inkubasi
P. fluorescens PG711.1
30,81 b
39,50 b
58,22 a
Flavobacterium, sp. PG711.2
41,34 a
70,5 ab
68,07 a
P. diminuta PG711.9
40,57 a
85,5 ab
56,55 a
P. fluorescens PG711.1+ Flavobacterium, sp. PG711.2+ P.
diminuta PG711.9
37,79 ab
114,0 a
57,80 a
P. fluorescens PG711.1+ Flavobacterium, sp. PG711.2+ P.
diminuta PG711.9+A. Niger
40,41 a
110,0 a
51,73 ab
Blanko
31,95 b
36,15 b
36,15 b
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang
sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0,05)
c.
Soil Conditioner
Soil conditioner merupakan bahan kimia yang berguna untuk
memperbaiki kondisi fisik tanah dan dapat menstabilkan agregat tanah. Fungsi soil conditioner adalah dapat
mengefesienkan pemupukan dan memperbesar permeabilitas tanah berstruktur jelek
ataupun memperbaiki distribusi ukuran pori (Adi dan Sukmana, 1980) cit
(Septiawan, 1987).
-
PVA (Polyvinilalcohol)
PVA merupakan preparat kimia bersifat hidrophilik (suka
menyerap air), lebih sanggup menembus pori struktur yang bermuatan positif dan
negative (William et al 1966) cit (Septiawan, 1987)., tak terionisasi dan
mempunyai berat molekul 106 dan mempunyai rumus molekul (CH2CHOH)n. Absorbsi molekul terhadap PVA menghasilkan
lapisan pori tanah, lapisan pori ini dapat menstabilkan agregat tanah dan
mempunyai akibat terhadap sifat aliran air dalam tanah.
-
Bitumen
Bitumen adalah hidrokarbon yang tidak menjerap air dan
mempunyai molekul yang cukup tinggi (Team Tanah Fak.Pertanian IPB, 1975 cit
Septiawan, 1987). Gugusan aktif bitumen adalah karboksul yang berfungsi dalam
pengikatan butir menjadi agregat.
Bitumen merupakan preparat relative murah yang dapat digunakan untuk
memperbaiki struktur tanah. Bitumen
ternasuk emulsi hidropobik yang sangat bermanfaat bagi tanah-tanah yanh mudah
mengeras dan mengurangi penguapan air.
-
Kapur
Bahan kapur memunyai banyak jenis, tapi umumnya dipergunakan
dalam bidang pertanian sebagai bahan pupuk untuk maksud menurunkan kemasaman
tanah dan memberikan unsure hara Ca dan Mg. Mengatakan bahwa kapur berpengaruh
tidak langsung terhadap sufat fisik tanah. Pengaruh kapur terhadap pelapukan
bahan organic tanah dan pembentukan humus.
Adanya humus ini akan mempengaruhi granulasi tanah (Soepardi 1983) cit
Septawan 1987). Ghani et al (1955) cit Septiawan (1987), melaporkan bahwa
secara umum kapur mempunyai kemampuan memflokulasikan koloid tanah, kapur dapat
memperbaiki kemantapan struktur, memperbaiki aerase, dan mempertahankan
permeabilitas tanah.
-
Terak baja
Umumnya dikenal sebagai hasil sampingan pabrik baja, yang
merupakan sisa dari proses pelepasan baja (Oota, 1979 cit Septiawan, 1987).
Bahan tersebut merupakan senyawa kimia yang mengandung silikat, kalsium, besi,
aluminium dan magnesium serta unsur-unsur lainnya. Terak baja mempunyai rumus
molekul (CaO)5P2O5SiO2 merupakan campuran dari silikat rangkap, fosfor dan
kapur dengan nama kimia tetra kalsium fosfat (Collings, 1955 cit Septiawan,
1987). Terak baja didalam bidang pertanian digunakan untuk menurunkan kemasaman
tanah dan menambah unsur hara Ca, Mg, Mn, dan P.
-
Abu merang Padi
Jerami atau merang padi merupakan sisa tanaman yang dapat
digunakan sebagai sumber bahan organic tanah. Bahan organik mempunyai peranan
penting dalam kesuburan tanah, antara lain 1) dalam pelapukan batuan dan proses
dekomposisi mineral tanah, 2) sumber hara tanaman, 3) pembentukan struktur yang
stabil dan 4) mempengaruhi perkembangan tanaman (Soepardi, 1983) cit Septiawan
(1987).
Hasil penelitian Septiawan (1987), menyebutkan bahwa
beberapa jenis soil conditioner dapat
meningkatkan kemantapan agregat tanah.
Bitumen 1% dan 2% serta PVA 0,4% memberikan kestabilan agregat yang
cukup tinggi, sementara itu untuk terak baja dan abu merang padi, memberikan
kestabilan maksimum pada dosis 2%, seperti yang di tampilkan pada Tabel 3.
Jenis soil conditioner PVA dan Bitumen bertindak sebagai coating agent yang
membungkus partikel tanah dengan cara memasuki pori-pori tanah yang telah
terbentuk. Gugus aktif karboksil bergerak kepermukaan partikel tanah dan
berlaku sebagai perantara pengikat partikel-partikel tanah. Bentuk ikatannya adalah ikatan hydrogen yaitu
ikatan gugus karboksil dengan gugus OH dari liat.
Pada jenis soil conditioner yang menggunakan kapur, dapat
meningkatkan kemantapan agregat tanah, karena secara umum kapur mempunyai
kemampuan memflokulasikan koloid tanah walaupun mungkin tidak secara langsung
membentuk agregat. Selain itu, unsur Ca
dan Mg dapat mengikat agregat yang lebih besar tanpa bantuan bahan
organik. Pada jenis soil conditioner
Terik baja, kandungan Fe dan Si mampu meningkatkan kestabilan agregat dengan
meningkatkan kemampuan memflokulasi partikel tanah. Sama halnya dengan Abu
merang padi, tingginya kandungan C-organik, Ca-dd dan Mg-dd dapat membantu
proses granulasi dan berperan sebagai perantara sebagai pengikat partikel
tanah.
Tabel 3. Hasil
Analisis Kemantapan Agregat
Perlakuan
Ulangan
Rata-rata
Kriteria
1
2
3
kontrol
42
41
37
40
Tidak Stabil
PVA 0,2%
*)
54
66
60
Agak Stabil
PVA 0,4%
123
133
111
122
Sangat Stabil
Bitumen 1%
147
133
*)
140
Sangat Stabil
Bitumen 2%
127
164
152
148
Sangat Stabil
Kapur 2%
66
61
66
64
Agak Stabil
Kapur 4%
68
56
65
63
Agak Stabil
Kapur 8%
90
132
105
109
Sangat Stabil
Terak Baja 1%
57
55
56
56
Agak Stabil
Terak Baja 2%
74
67
61
67
Stabil
Terak Baja 4%
53
47
51
50
Kurang Stabil
Abu Merang 1%
81
79
69
76
Stabil
Abu Merang 2%
85
88
*)
87
Sangat Stabil
Abu Merang 4%
66
64
61
64
Agak Stabil
*) data hilang karena kesalahan prosedur
3. Kesimpulan
1. Kemantapan
agregat merupakan kemampuan agregat tanah untuk bertahan terhadap pengaruh
tetesan air hujan ataupembenaman dalam air
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kemantapan agregat antara lain pengolahan tanah, aktivitas
mikroorganisme tanah, penutupan tajuk tanaman pada permukaan tanah yang dapat
menghindari splash erotion akibat curah hujan tinggi.
3. Bahan organik
tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran
sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah,
sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah.
4. Pembentukan
agregat tanah umumnya dipengaruhi oleh
eksopolisakarida (EPS) yang merupakan hasil dari aktivitas
mikroorganisme.
5. Soil
conditioner merupakan bahan kimia yang berguna untuk memperbaiki kondisi fisik
tanah dan dapat menstabilkan agregat tanah.
Fungsi soil conditioner adalah dapat mengefesienkan pemupukan dan
memperbesar permeabilitas tanah berstruktur jelek ataupun memperbaiki
distribusi ukuran pori
DAFTAR PUSTAKA
Adrinal, Saidi A, Gusmini. 2009. Perbaikan Sifat
Fisiko-Kimia Tanah Psamment Melalui Pemulsaan Organik Dan Penerapan Teknik Olah
Tanah Konservasi Pada Budidaya Jagung.
Juarsah.I, Yustika,
R.D. dan Abdurachman A. 2001.
Pengendalian Erosi Dan Kahat Bahan Organik Tanah Pada Lahan Kering Berlereng
Mendukung Produksi Pangan Nasional.
Nursanti, I dan Rohim, A, M. 2007. Pengelolaan Kesuburan
Tanah Mineral Masam untuk Pertanian. Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah,
Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana,
Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
Nursyamsi, D. 2004. Beberapa upaya untuk meningkatkan
Produktivitas tanah di lahan kering. Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor.
Santi.L.P , Dariah. A
dan Goenadi. D.H. 2008. Peningkatan kemantapan agregat tanah
mineral oleh bakteri penghasil
eksopolisakarida. Menara Perkebunan,
2008, 76 (2), 93 – 103.
Septiawan, G.W. 1987. Pengaruh pemberian soil conditioner
terhadap kemantapan agregat tanah, difusivitas dan hantaran hidrolik tidak
jenuh pada tanah labil lapisan atas dari daerah pagelaran, Cianjur Selatan,
Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Suprapto. 2000.
Berbagai masukan teknologi Untuk meningkatkan Produktivitas lahan
Marginal. Laporan Akhir Penelitian SUT Diversivikasi Lahan Marginal di
Kecamatan Gerokgak, Buleleng.
Yuwono, N.W dan Rosmarkam, A. 2005. Ilmu Kesuburan
Tanah. Kanisius. Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment